Sang Maestro yang terlupakan

Nama Sirajuddin Dg Bantang adalah nama yang tidak asing lagi bagi publik Sulawesi Selatan pada khususnya serta masyarakat dunia pada umumnya. Lewat gesekan sinrilik (keso’-keso‘) dan paruntuk kana dan pappasang tu riolo ia bertutur menyampaikan pesan-pesan adiluhung kepada penikmatnya. “Tak heran bila penyirinli selalu bolak balik ke istana untuk menyampaikan pesan dari raja. Supaya pesan itu lebih memikat perhatian rakyat, maka disampaikan dengan gaya bertutur yang indah tetapi penuh isi dan makna ,” kata Sirajuddin dalam sebuah kesempatan seperti yang ditulis Fajar News.




Seniman yang lahir pada tanggal 14 November 1946 ini, adalah nama yang tak bisa dipisahkan dari perkembangan seni budaya Makassar. Pada tahun 1970-an, bersama Andi Idjo dan Andi Tjoneng, beliau mendirikan Sanggar Seni Batara Gowa. Sanggar inilah yang banyak berjasa memperkenalkan seni budaya Makassar hingga kebelahan bumi lain. Tak berhenti sampai disitu, pada tahun 1989, beliau juga mendirikan Sanggar Siradjuddin dan menjabat sebagai pembina hingga akhir hayatnya. Sadar bahwa pasinrilik semakin langka, ia bahkan memperjuangkan agar seni sinrilik dimasukkan dalam pelajaran sekolah.

Dedikasinya yang besar membuat Departemen Kebudayaan R.I menganugerahinya gelar Maestro Budaya. Wajar, jika ia mendapatkan gelar maestro karena dedikasinya yang besar terhadap sinrilik. Pada tahun 1980, beliau berhasil meraih koreografer terbaik Indonesia. Ia juga masuk kategori tiga besar seniman terbaik dalam Kanada Ekspo 1986 di Kanada, serta pernah menjadi tenaga pengajar seni sinrilik di Australia selama tiga bulan.

Beliau telah menekuni seni sinrilik sejak mulai awal 1980an melalui TVRI Makassar bahkan hingga tahun 2010. Saya terakhir kali melihat penampilannya di salah satu tv lokal Makassar, tahun 2010, saat itu beliau tampil membawakan sejarah Syech Yusuf. Dalam penampilannya beliau tidak hanya bercerita sejarah tapi juga memberikan nasehat-nasehat bagi kehidupan.

Syech Yusuf dan Sufisme, tampaknya menyita perhatiannya. Terbukti, beliau juga menulis buku berlatar religi antara lain Makrifat Cinta Syekh Yusuf, Santri Lembah Selatan, Kelong-kelong Sufi, Gadis Berjilbab Mencari Allah, Adzan di Bukit Hidayah, serta Syech Yusuf Menuntun Kita Ke Surga. Tentu saja selain buku itu ia juga menulis sejumlah buku lainnya seperti Kisah nyata Anak Pagandeng Jadi Dokter, Sastra Makassar, serta Guru Sebagai Pendidik yang Humanis. Adapun bukunya yang belum rampung adalah naskah Sinrili Kappala Talambatua. Naskah yang menceritakan kisah antara Kerajaan Bone dan Gowa. Juga naskah sinrilik tentang kisah Syekh Yusuf yang akan dipentaskan di Afrika Selatan bersamaan dengan diresmikannya replika Balla Lompoa sebagai museum Syekh Yusuf di Afrika Selatan.

Tak hanya melalui TV, ia juga terus menghibur pencintanya lewat siaran radio Rewako FM dalam acara Sinrilik Rewako setiap kamis malam. Radio Rewako FM adalah Radio milik Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa. Di kancah internasional, beliau memperkenalkan sinrilik sejak tahun 1970an mulai dari benua Asia, Amerika juga Eropa, seperti yang ditulis Tribun Timur.

Ia akhirnya meninggalkan pencintanya pada tanggal 14 Mei 2010 pada usia 64 tahun di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar. Dan dimakamkan di kampung halamannya Desa Taeng, Kecamatan Palangga, Gowa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

I MALLULUANG DAENG PALALLO

Paruntu' kana